Memiliki mata uang kuat dapat membuktikan tantangan bagi negara dan pembuat kebijakan mereka. Selain memiliki manfaat, mata uang yang kuat juga membuat barang dan jasa negara tersebut lebih mahal daripada yang didenominasi dalam mata uang yang lebih murah. Karena situasi seperti itu menciptakan pemenang dan pecundang, memiliki mata uang yang kuat dapat dengan mudah memprovokasi situasi kontroversial yang sulit untuk pembuat kebijakan lakukan.
Ekspor dan Mata Uang Kuat
Jika sebuah negara memiliki mata uang kuat, konsumennya dapat membeli barang atau jasa dalam mata uang asing dengan harga yang lebih murah. Bagaimanapun, sebagai mata uang negara yang berkaitan dengan mata uang lain, ekspornya bisa menderita karena mereka menjadi lebih mahal untuk pembeli luar negeri. Ekspor mewakili aliran mata uang asing ke dalam sebuah negara, jadi mengurangi mereka dapat menciptakan kondisi ekonomi yang buruk dengan signifikan.
Kebijakan Mata Uang Bank Sentral
Salah satu variabel utama yang dapat mempengaruhi nilai mata uang adalah kebijakan bank sentral, dan ketika lembaga keungan ini memilih untuk menggunakan kebijakan yang berbeda maka ia dapat dengan mudah memprovokasi fluktuasi nilai tukar mata uang.
Pada tahun-tahun setelah krisis keuangan 2007-2009, berbagai bank sentral memanfaatkan kebijakan moneter agresif dalam upaya mendorong ekspansi yang lebih kuat. Lembaga keuangan ini memangkas suku bunga acuan untuk mencatat posisi terendah dan membeli asset bernilai triliunan dolar.
Federal Reserve memangkas suku bunga mendekati posisi terendah sepanjang masa dan memanfaatkan tiga program pembelian obligasi terpisah dengan yang terakhir ditutup pada bulan oktober 2014 silam. Fed menghapus pelonggaran kuantitatifnya (QE) sebelum bank sentral negara lain, sebagaimana AS tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.
Salah satu lembaga keuangan yang melakukan pembelian obligasi setelah Fed menghentikan transaksi ini adalah Bank of Japan (BOJ). Pada juli 2016 lalu, BOJ mengumumkan bahwa tidak hanya akan terus membeli efek pendapatan tetap tapi juga meningkatkan pembelian dana yang diperdagangkan dari 3,3 triliun yen menjadi 6 triliun yen. Pelaku pasar merespon dengan mendorong yen menguat relatif terhadap mata uang utama lainnya. Sebuah perkembangan yang membuat para pembuat kebijakan Jepang tidak senang dan berpotensi merusak daya tarik ekspor negara .
Tren Kebijakan
Banyak bank sentral mengikuti pengumuman BOJ dan mengambil langkah untuk menciptakan kebijakan moneter yang lebih agresif. Reserve Bank of Australia (RBA) misalnya, memangkas suku bunga acuan menjadi rekor terendah 1.5% pada agustus 2016 silam. Waktu untuk pertemuan kebijakan di mana langkah ini diputuskan menyebutkan bahwa “ada kemungkinan yang masuk akal untuk stimulus lebih lanjut oleh sejumlah bank sentral utama” dan menyarankan RBA membuat kebijakan ini bergerak terutama dengan tujuan mengambil langkah-langkan untuk menangkis nilai kenaikan untuk dolar Australia.
Bank of England (BOE) juga mengumumkan perubahan pada kebijakan moneter pada bulan agustus 2016 lalu yang menyatakan bahwa pihaknya ingin membantu mengurangi tekanan yang akan dihadapi ekonomi selain Brexit. Hasilnya, BOE meningkatkan QE, menurunkan suku bunga dan mengucurkan 100 milyar poundsterling untuk membantu memperbaiki pinjaman.
Kesimpulan
Memiliki mata uang yang kuat dapat menciptakan situasi yang sulit bagi kedua negara dan pembuat kebijakan mereka. Situasi seperti ini dapat menciptakan angin puyuh ekonomi dengan mengurangi daya tarik ekspor suatu negara. Tantangan ini bisa terbukti lebih berbahaya lagi pada saat ekonomi melemah. Dalam kasus ini, banyak negara benci memiliki mata uang yang kuat.