Poundsterling merupakan salah satu mata uang yang masuk dalam jajaran mata uang terkuat, disandingkan dengan USD, Euro dan lainnya. Poundsterling juga masuk dalam jajaran mata uang yang aktif dalam perdagangan dan Bank International. Inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan banyak investor yang mengalihkan asetnya ke mata uang milik Inggris ini.
Kendati demikian, layaknya mata uang besar pada umumnya, uang-uang kuat ini juga pernah mengalami penurunan nilai, tak terkecuali Poundsterling. Penurunan mata uang yang dialami oleh Poundsterling ini terjadi ketika Inggris memutuskan untuk keluar dari cakupan Uni Eropa yang tertera dalam referendum Brexit. Saat itu nilai Poundsterling anjlok ke level terendah dalam 30 tahun terakhir terhadap dollar.
Nilai Poundsterling jatuh ke posisi terendah sejak tahun 1985 setelah adanya prediksi oleh British Broadcasting Corp bahwa kemenangan akan berpihak pada pendukung yang menginginkan terealisasinya Brexit. Hal ini juga turut diikuti dengan jatuhnya index saham dan bank. Pada 24 Juni 2016 poundsterling anjlok lebih dari 10 persen yang juga merupakan angka terburuk dibandingkan penurunan pada 1992 yang hanya mencapai 4,1 persen. Menurut Kepala Keuangan Global HSBC, David Bloom hal ini merupakan satu masa yang akan selalu diingat dalam sejarah perekonomian dunia.
Bloomberg British Pound Index yang melakukan pelacakan terhadap nilai poundsterling saat itu mengatakan poundsterling menyusut 10 persen pada level US$ 1.3319. Kemudian diikuti dengan turunnya nilai FTSE 100 sebanyak 7,5 persen. Beberapa saham lain seperti Standart Chartered Plc dan HSBC ikut melemah di kawasan Asia.
Nilai poundsterling sudah berfluktuasi sejak kampanye Brexit yang terjadi pada bulan Februari. Padahal sebelum turun kelevel terendah, poundsterling sempat menyentuh level US$ 1,5 untuk pertama kalinya karena adanya survei yang mengatakan 52 persen warga Inggris memutuskan untuk tetap bergabung dengan Uni Eropa.
Kabar adanya referendum Brexit ini telah terdengar hampir di penjuru dunia. Beberapa kalangan ekonom juga telah memperingatkan Inggris tentang apa yang mungkin terjadi jika tetap memutuskan keluar dari UE. Janet Yellen, selaku Gubernur The Fed mengatakan bahwa Brexit menjadi salah satu alasan Amerika tetap mempertahankan suku bunga pada bulan itu. Survey yang dilakukan Bloomberg sudah mengisyaratkan mata uang poundsterling akan jatuh setelah jajak pendapat selesai dilakukan. Kejatuhan poundsterling ini diyakini dapat meningkatkan kinerja ekspor sekaligus berdampak negatif seperti menaikan harga produk bagi warga Inggris.
Tentang Brexit
Brexit berasal dari singkatan British Exit yang menjadi tittle referendum peluang keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Terjadinya referendum Brexit – Referendum Uni Eropa di Inggris akan dilakukan pada Kamis 23 Juni 2016 dan secara hukum akan dilakukan 16 minggu sebelum referendum.
Eropa setelah ditinggal Inggris – Beberapa kritikus Uni Eropa mengatakan, Inggris memiliki potensi untuk meninggalkan blok yang selama ini menjadi pasar tunggalnya di kawasan tersebut. Inggris juga akan memilih mengikuti Norwegia yang telah membayar untuk tetap dapat bergabung dalam pasar tersebut.
Pandangan ekonom terhadap Brexit – Beberapa ekonom meyakini jika aksi keluarnya Inggris dari UE akan berdampak buruk pada prospek perekonomian Inggris. Lebih dari 100 ekonom berdasarkan polling yang dilakukan oleh FT, keputusan Brexit tidak akan menumbuhkan ekonomi inggris dan bisa menimbulkan outlook ekonomi berbahaya. Hanya 8 persen pihak yang berpendapat jika perekonomian Inggris akan membaik jika Brexit dilakukan.
Hak memilih – Dalam referendum ini, yang berhak memilih adalah warga negara Inggris, Irlandia, warga negara persemakmuran yang telah berusia 18 tahun dan berdomisili di Inggris serta warga negara Inggris yang tinggal di luar negeri kurang dari 15 tahun.
Alasan Inggris keluar dari UE – Inggris merasa mengorbankan banyak hal seperti lapangan pekerjaan untuk sesuatu yang negara sendiri tidak ikut diuntungkan. Misalnya dengan perjanjian kerja sama dengan Euro. Brexit juga digadang-gadang menjadi awal Inggris untuk menjaga akses penuh terhadap pasar serta menjaga warga agar tetap aman. Inggris juga berpendapat jika Brexit dapat terealisasikan maka negara akan memperoleh keuntungan nyata seperti defisit anggaran dan defisit transaksi akan turun 20 persen, dapat membuat undang-undang sendiri, mengatur regulasi imigrasi dan kebijakan perbatasan serta kembali menampakan kekuatan di kalangan lembaga Internasional seperti WHO.